Thursday, March 31, 2005
Saatnya memulai suatu cita-cita. Bila tidak sekarang dimulai kapan lagi cita-cita iru akan tercapai.
Monday, March 28, 2005
Jadi ingat isian-isian di bulletin friendster, yang kadang konyol tetapi kadang merupakan daftar pertanyaan detil yang seringkali saya lupakan. Saya sendiri jarang mengisinya disna, karena dilanda kemalasan sangat untuk meng copy dan kemudian mem paste untuk kemudian di send ke friendster agar sapat dibaca oleh kawan lainnya.
Tentang pertama.
Mula dari segala, awal dari semua.
Mungkin karena semangat millie untuk membeli satu buku berjudul baby's diary yang isinya semua hal pertama yang dilakukan sang anak. Foto pertama lahir, foto pertama jalan, foto pertama bicara, foto pertama menelungkup, foto pertama tertawa, foto pertama bla bla lainnya, dan juga tanggal pertama sekolah, tanggal pertama ke rumah neneknya, tanggal pertama vaksinasi, tanggal pertama bla bla bla lainnya. Banyak sekali hal-hal pertama di buku seharga 80 ribu rupiah itu (what a business). Syukurlah millie ingat untuk membeli buku itu, walau harganya menurut saya agak terlalu mahal untuk sebuah buku diari (damn minangese!!).
Saya memaksa ingatan saya untuk mengingat selang waktu antara kelahiran saya hingga saya berumur 4 tahun saat mama papa mengajak saya serta ber urbanisasi ke kota bandung.
***
Rumah itu berada di daerah Pasa Gadang (artinya pasar besar), letaknya di dekat teluk bayur. Dulu, rumah ini adalah gudang milik ayah ibu saya. Sekarang rumah itu sudah menjadi sekretariat Pejuang Kemerdekaan Tahun 45 cabang Kota Padang.
***
Pada masa itu, Kakek Abdul Fatah adalah salah seorang hartawan di Kota Padang. Saat belum ada seorangpun yang menjalankan perdagangan ke luar negeri, atau ekspor, beliau sudah menjalankannya. Berpeti kain hasil tenunan kampungnya, Silungkang, sudah beliau kirim dari Teluk Bayur menuju Malaysia, Singapura dan beberapa daerah lainnya di wilayah Asia.
Karena kaya, tidak heran bila beliau memiliki empat istri. Mama Rosmita adalah anaknya bungsu dari istrinya yang paling muda. Anak ke empat dari empat bersaudara, tetapi entah anak keberapa dari seluruh anak Kakek Fatah. Benar-benar sebuah keluarga yang besar sekali.
Sejak lahir, Mama Rosmita seorang yatim piatu. Kakek Fatah meninggal beberapa bulan sebelum Mama lahir, sedang Nenek (yang saya sendiri lupa siapa namanya) meninggal bersamaan dengan kelahiran Mama. “Sejak laia, Mama ndak tau siapo Induak Mama” begitu selalu Mama berkata pada Saya dan kedua adik perempuan saya. Karena yatim piatu, beliau diasuh oleh Ibu tiri. Beliau berpindah dari satu Ibu ke Ibu lainnya, istri-istri Kekeh Fatah lainnya. Walau bukan anak kandung, beliau diasuh diasuh layaknya anak kandung sendiri oleh mereka, nenek-nenek saya.
Walau Kakek Fatah orang kaya, Mama Rosmita tidak pernah menikmati harta kekayaannya. Harta benda ayahnya dihabiskan oleh saudara-saudara kandungnya yang saat itu gemar berjudi. “Sekali bermain judi, kamu akan ketagihan dan tak bisa berhenti” begitu kata-kata beliau suatu ketika. Harta tujuh keturunanpun akan habis hingga keraknya bila dipakai untuk berjudi. Habis tak bersisa.
***
Seingat saya, rumah itu bertingkat dua. Tingkat atasnya banyak berdebu karena rumah itu adalah rumah tua. Agak seram rasanya dulu karena banyak sekali barang-barang tua tertumpuk disana.
***
Saya lahir di Rumah Sakit Zainal Abidin Padang pada saat matahari hendak terbit menjelang. Sebagai seorang perawat, malam itu Mama tetap bertugas. “Setiap perawat tak bisa menghindari tugas malam, karena itu adalah keniscayaan pekerjaan di rumah sakit yang berjalan 24 jam” begitu ceritanya. Hmm, mungkin sama engan keniscayaan pekerjaan saya sekarang sebagai karyawan di sebuah media.
Berat saya 3,4 kg saat lahir dengan panjang 53 cm. Normal saja proses lahirnya. “Kalian anak mama ndak ado nu laianyo lambek, sadoyo copek. Alhamdulillah.” Hanya butuh 2 jam saja untuk melahirkan saya pagi itu. Syukurlah tidak terlalu menyusahkan di awal kemunculan saya J
***
Jendelanya terbuat dari kayu jati, ukurannya besar-besar. Lebar dan panjang khas jendela-jendela gudang tempo dahulu. Dari jendela itulah saya pertama kali mencicipi semilirnya angin muara teluk bayur dan merasakan asinnya udara laut serta panasnya matahari.
***
Kami tinggal di lantai bawah, bergabung dengan beberapa keluarga Mama lainnya. Satu kamar mandinya berukuran besar, besar sekali rasanya seingat saya. Air di dalam bak mandi tak dapat saya jangkau dengan juluran tangan walau ditambah dengan kaki menjinjit. Agar dapat menjangkau dan mengkecipak air, saya harus memanjat pinggiran dinding sumur yang bersebelahan letaknya.
Saya ingat, favorit saya untuk bermain di kamar mandi. Saya senang berbasah-basah. Sebanding mungkin dengan kesenangan saya memainkan kapal-kapalan kayu berdayung potongan kayu kecil yang diputar menggunakan karet gelang. Kebayang nggak??? Potongan kayu kecil itu berfungsi sebagai baling-baling yang mendorong kapal kayu itu bergerak ke depan. Atau ke belakang. Kebayang nggak??? Hahaha
Saya masih tiga tahun saat itu, tidak mempunyai kawan bermain di luar rumah. Kawan saya saat itu adalah Tuk Romi dan Tuk Ta’an. Mereka adalah kakak-kaka sepupu yang berumur 5 tahun di atas saya. Meranalah saya dikerjai mereka (berdasar cerita Uniang Ema, kakak Mama sama Ayah berbeda Ibu). Tuak Taan sudah menikah, anaknya masih bayi dan sekarang berdagang kain di pasar tanah abang. Sementara Tuak Romi baru saja menikah tanggal 20 maret kemarin, sekarang dia bekerja di PT. Samudera Indonesia di Surabaya. Dengan mereka berdualah saya ingat saya bermain pada masa kecil saya dulu
***
Tentang pertama.
Mula dari segala, awal dari semua.
Mungkin karena semangat millie untuk membeli satu buku berjudul baby's diary yang isinya semua hal pertama yang dilakukan sang anak. Foto pertama lahir, foto pertama jalan, foto pertama bicara, foto pertama menelungkup, foto pertama tertawa, foto pertama bla bla lainnya, dan juga tanggal pertama sekolah, tanggal pertama ke rumah neneknya, tanggal pertama vaksinasi, tanggal pertama bla bla bla lainnya. Banyak sekali hal-hal pertama di buku seharga 80 ribu rupiah itu (what a business). Syukurlah millie ingat untuk membeli buku itu, walau harganya menurut saya agak terlalu mahal untuk sebuah buku diari (damn minangese!!).
Saya memaksa ingatan saya untuk mengingat selang waktu antara kelahiran saya hingga saya berumur 4 tahun saat mama papa mengajak saya serta ber urbanisasi ke kota bandung.
***
Rumah itu berada di daerah Pasa Gadang (artinya pasar besar), letaknya di dekat teluk bayur. Dulu, rumah ini adalah gudang milik ayah ibu saya. Sekarang rumah itu sudah menjadi sekretariat Pejuang Kemerdekaan Tahun 45 cabang Kota Padang.
***
Pada masa itu, Kakek Abdul Fatah adalah salah seorang hartawan di Kota Padang. Saat belum ada seorangpun yang menjalankan perdagangan ke luar negeri, atau ekspor, beliau sudah menjalankannya. Berpeti kain hasil tenunan kampungnya, Silungkang, sudah beliau kirim dari Teluk Bayur menuju Malaysia, Singapura dan beberapa daerah lainnya di wilayah Asia.
Karena kaya, tidak heran bila beliau memiliki empat istri. Mama Rosmita adalah anaknya bungsu dari istrinya yang paling muda. Anak ke empat dari empat bersaudara, tetapi entah anak keberapa dari seluruh anak Kakek Fatah. Benar-benar sebuah keluarga yang besar sekali.
Sejak lahir, Mama Rosmita seorang yatim piatu. Kakek Fatah meninggal beberapa bulan sebelum Mama lahir, sedang Nenek (yang saya sendiri lupa siapa namanya) meninggal bersamaan dengan kelahiran Mama. “Sejak laia, Mama ndak tau siapo Induak Mama” begitu selalu Mama berkata pada Saya dan kedua adik perempuan saya. Karena yatim piatu, beliau diasuh oleh Ibu tiri. Beliau berpindah dari satu Ibu ke Ibu lainnya, istri-istri Kekeh Fatah lainnya. Walau bukan anak kandung, beliau diasuh diasuh layaknya anak kandung sendiri oleh mereka, nenek-nenek saya.
Walau Kakek Fatah orang kaya, Mama Rosmita tidak pernah menikmati harta kekayaannya. Harta benda ayahnya dihabiskan oleh saudara-saudara kandungnya yang saat itu gemar berjudi. “Sekali bermain judi, kamu akan ketagihan dan tak bisa berhenti” begitu kata-kata beliau suatu ketika. Harta tujuh keturunanpun akan habis hingga keraknya bila dipakai untuk berjudi. Habis tak bersisa.
***
Seingat saya, rumah itu bertingkat dua. Tingkat atasnya banyak berdebu karena rumah itu adalah rumah tua. Agak seram rasanya dulu karena banyak sekali barang-barang tua tertumpuk disana.
***
Saya lahir di Rumah Sakit Zainal Abidin Padang pada saat matahari hendak terbit menjelang. Sebagai seorang perawat, malam itu Mama tetap bertugas. “Setiap perawat tak bisa menghindari tugas malam, karena itu adalah keniscayaan pekerjaan di rumah sakit yang berjalan 24 jam” begitu ceritanya. Hmm, mungkin sama engan keniscayaan pekerjaan saya sekarang sebagai karyawan di sebuah media.
Berat saya 3,4 kg saat lahir dengan panjang 53 cm. Normal saja proses lahirnya. “Kalian anak mama ndak ado nu laianyo lambek, sadoyo copek. Alhamdulillah.” Hanya butuh 2 jam saja untuk melahirkan saya pagi itu. Syukurlah tidak terlalu menyusahkan di awal kemunculan saya J
***
Jendelanya terbuat dari kayu jati, ukurannya besar-besar. Lebar dan panjang khas jendela-jendela gudang tempo dahulu. Dari jendela itulah saya pertama kali mencicipi semilirnya angin muara teluk bayur dan merasakan asinnya udara laut serta panasnya matahari.
***
Kami tinggal di lantai bawah, bergabung dengan beberapa keluarga Mama lainnya. Satu kamar mandinya berukuran besar, besar sekali rasanya seingat saya. Air di dalam bak mandi tak dapat saya jangkau dengan juluran tangan walau ditambah dengan kaki menjinjit. Agar dapat menjangkau dan mengkecipak air, saya harus memanjat pinggiran dinding sumur yang bersebelahan letaknya.
Saya ingat, favorit saya untuk bermain di kamar mandi. Saya senang berbasah-basah. Sebanding mungkin dengan kesenangan saya memainkan kapal-kapalan kayu berdayung potongan kayu kecil yang diputar menggunakan karet gelang. Kebayang nggak??? Potongan kayu kecil itu berfungsi sebagai baling-baling yang mendorong kapal kayu itu bergerak ke depan. Atau ke belakang. Kebayang nggak??? Hahaha
Saya masih tiga tahun saat itu, tidak mempunyai kawan bermain di luar rumah. Kawan saya saat itu adalah Tuk Romi dan Tuk Ta’an. Mereka adalah kakak-kaka sepupu yang berumur 5 tahun di atas saya. Meranalah saya dikerjai mereka (berdasar cerita Uniang Ema, kakak Mama sama Ayah berbeda Ibu). Tuak Taan sudah menikah, anaknya masih bayi dan sekarang berdagang kain di pasar tanah abang. Sementara Tuak Romi baru saja menikah tanggal 20 maret kemarin, sekarang dia bekerja di PT. Samudera Indonesia di Surabaya. Dengan mereka berdualah saya ingat saya bermain pada masa kecil saya dulu
***
Friday, March 25, 2005
Masa sekolah dasar adalah masa-masa awal saya lepas dari ketergantungan dari orang tua. Sedikit demi sedikit saya mulai melepaskan diri dari pengaruh orang tua saya. Saya mulai menyatakan pada mereka bahwa saya tidak mau ditunggu oleh mereka di sekolah. Saya mulai berangkat ke sekolah tanpa diantar. Dari rumah di daerah cipaganti, saya naik angkutan umum kijang hijau StHall-Ciumbuleuit, berhenti di Depan Jalan Sejahtera dan kemudian berjalan kurang lebih 100meter menyusuri jalan.
Ya, nama SD saya adalah SD Sejahtera. SD Negeri. SD Pemerintah. Anak-anak dari orang kebanyakan bersekolah disini. Maksud kebanyakan adalah orang tua kawan-kawanku berasal dari beragam kelas sosial di masyarakat, dari mulai anak pedagang kaya hingga pedagang ikan di pasar sederhana. Dari yang memiliki orangtua seorang dosen suatu kampus terkenal hingga salah stu orangtuanya bekerja di SD negeri yang bergaji sangat kecil. Dulu, saya belum terlalu mengerti tentang ini, sekarang sedikit banyak saya memahaminya. Saya memahami bahwa orang tua saya dahulu menyekolahkan saya ke suatu sekolah yang cukup bagus dengan lingkungan yang cukup heterogen sehingga saya bisa bergaul dari mulai anak orang kaya hingga yang miskin.
Saya sendiri mengkategorikan diri saya sebagai anak dari kelompok menengah. Mungkin tepat di tengah, kaena ayah saya seorang pegawai negeri, seorang dosen di sebuah universitas terkenal di daerah asal saya. Sedang Ibu saya adalah seorang perawat (bukan bidan) yang biasa bekerja di rumah sakit dan bergaul dengan para dokter dan pasien yang juga beragam. Penghasilan ayah saya adalah gajinya sebgai pegawai negeri serta tunjangan jabatan selama menjabat sebagai dosen. Dia sudah diangkat sebagai pegawai negeri sejak 1975, setahun sebelum saya lahir, tahun yang sama saat beliau menikahi ibu saya. Ibu saya berstatus pegawai negeri saat saya lahir, tetapi saat berada di bandung beliau berstatus pegawai satu klinik yang berada di bawah pembinaan perguruan tinggi.
Sandi dan Jimmi adalah dua sahabat saya sejak saya bisa mengungkapkan akta persahabatan. Indikasinya sangat sederhana, karena saya seringkali berjalan bersama mereka, duduk di bangku yang sama, beristirahat bersama dan membeli jajanan di warung belakang sekolah yang sama bersama-sama. Mungkin juga pertama kali menyenangi lawan jenis bersama, hahaha...namanya Riska. Kawan sekelas kami dahulu, mungkin sekarang sudah menikah tapi entah berada di mana. Sahabat-sahabat saya dulu yang jarang saya bertemu. Mungkin saya merasa sedikit canggung untuk menyebut bahwa saya pernah bersahabat dengan mereka karena sekian lama tak berjumpa, dan sekali berjumpa dengan Sandi tetapi dengan perasaan yang agak jauh dari persahabatan. Mungkin hanya pertemanan sekarang, bahkan mungkin sja sekedar seorang kenalan. Mengagumkan yang dilakukan oleh waktu dan jarangnya berinteraksi. Maafkan saya...Tapi saya tetap menganggap mereka sahabat-sahabat saya walau secanggung apapun perasaaan itu sekarang.
Kelas enam, kami berpisah ke sekolah yang berbeda. Saya masuk SMP 5, sandi SMP 9 sedangkan Jimmi bila saya tak salah masuk ke SMP 1. Entah yang lain. sejak itulah saya jarang lagi berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Karena saya tak tahu cara lain berkomunikasi selain berjumpa langsung pada waktu itu. Rumah kontrakan ayah saya tidak memiliki sambungan telepon walaupun Sandi dan Jimi memilikinya. Mungkin itu penyebabnya. Sementara saya pun mulai asik dengan kawan-kawan baru saya.
Kawan-kawan sejak masa SMP hingga kuliahlah yang hingga kini masih sering berinteraksi, karena walau berbeda tempat sekolah kemudian kami tetap mengadakan buka puasa bersama minimal setahun sekali, hingga kami diingatkan kembali satu sama lain. Dan kebanyakan kawan SMP saya bertemu kembali pada masa SMA dan masa kuliah.
Terlalu banyak nama yang harus saya sebutkan satu persatu tetapi sejak SMP saya benar-benar merasakan perkawanan yang berlangsung lebih lama. Bahkan hingga masa sekarang. Sebut saja Adjo, computer/electronic freak. Sekelas saat kelas 1 di SMP. Dengan dialah saya mengenal tetek bengek elekronik pertama kali. Membuat flip-flop, berjalan ke Plaza untuk membeli komponen elektronik. Kemudian masuk jurusan yang sama di kampus, dan sekarang kembali menekuni kecanduannya akan elektronik/computer dengan berprofesi sebagai hardware proyeker. Kelas 1 SMP lah pertama kali saya membaca enny arrow :P dan baru di kelas 2 SMP saya menonton film biru disanggar pramuka. hahaaha sudahlah,itulah sebagian yang membuat saya menjadi orang seperti sekarang ini. Karena sekali lagi, terlalu banyak nama yang harus saya sebutkan satu persatu. Suatu saat saya harus menuliskannya agar saya kembali dingatkan betapa beruntungnya saya memiliki kawan-kawan.
Ya, nama SD saya adalah SD Sejahtera. SD Negeri. SD Pemerintah. Anak-anak dari orang kebanyakan bersekolah disini. Maksud kebanyakan adalah orang tua kawan-kawanku berasal dari beragam kelas sosial di masyarakat, dari mulai anak pedagang kaya hingga pedagang ikan di pasar sederhana. Dari yang memiliki orangtua seorang dosen suatu kampus terkenal hingga salah stu orangtuanya bekerja di SD negeri yang bergaji sangat kecil. Dulu, saya belum terlalu mengerti tentang ini, sekarang sedikit banyak saya memahaminya. Saya memahami bahwa orang tua saya dahulu menyekolahkan saya ke suatu sekolah yang cukup bagus dengan lingkungan yang cukup heterogen sehingga saya bisa bergaul dari mulai anak orang kaya hingga yang miskin.
Saya sendiri mengkategorikan diri saya sebagai anak dari kelompok menengah. Mungkin tepat di tengah, kaena ayah saya seorang pegawai negeri, seorang dosen di sebuah universitas terkenal di daerah asal saya. Sedang Ibu saya adalah seorang perawat (bukan bidan) yang biasa bekerja di rumah sakit dan bergaul dengan para dokter dan pasien yang juga beragam. Penghasilan ayah saya adalah gajinya sebgai pegawai negeri serta tunjangan jabatan selama menjabat sebagai dosen. Dia sudah diangkat sebagai pegawai negeri sejak 1975, setahun sebelum saya lahir, tahun yang sama saat beliau menikahi ibu saya. Ibu saya berstatus pegawai negeri saat saya lahir, tetapi saat berada di bandung beliau berstatus pegawai satu klinik yang berada di bawah pembinaan perguruan tinggi.
Sandi dan Jimmi adalah dua sahabat saya sejak saya bisa mengungkapkan akta persahabatan. Indikasinya sangat sederhana, karena saya seringkali berjalan bersama mereka, duduk di bangku yang sama, beristirahat bersama dan membeli jajanan di warung belakang sekolah yang sama bersama-sama. Mungkin juga pertama kali menyenangi lawan jenis bersama, hahaha...namanya Riska. Kawan sekelas kami dahulu, mungkin sekarang sudah menikah tapi entah berada di mana. Sahabat-sahabat saya dulu yang jarang saya bertemu. Mungkin saya merasa sedikit canggung untuk menyebut bahwa saya pernah bersahabat dengan mereka karena sekian lama tak berjumpa, dan sekali berjumpa dengan Sandi tetapi dengan perasaan yang agak jauh dari persahabatan. Mungkin hanya pertemanan sekarang, bahkan mungkin sja sekedar seorang kenalan. Mengagumkan yang dilakukan oleh waktu dan jarangnya berinteraksi. Maafkan saya...Tapi saya tetap menganggap mereka sahabat-sahabat saya walau secanggung apapun perasaaan itu sekarang.
Kelas enam, kami berpisah ke sekolah yang berbeda. Saya masuk SMP 5, sandi SMP 9 sedangkan Jimmi bila saya tak salah masuk ke SMP 1. Entah yang lain. sejak itulah saya jarang lagi berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Karena saya tak tahu cara lain berkomunikasi selain berjumpa langsung pada waktu itu. Rumah kontrakan ayah saya tidak memiliki sambungan telepon walaupun Sandi dan Jimi memilikinya. Mungkin itu penyebabnya. Sementara saya pun mulai asik dengan kawan-kawan baru saya.
Kawan-kawan sejak masa SMP hingga kuliahlah yang hingga kini masih sering berinteraksi, karena walau berbeda tempat sekolah kemudian kami tetap mengadakan buka puasa bersama minimal setahun sekali, hingga kami diingatkan kembali satu sama lain. Dan kebanyakan kawan SMP saya bertemu kembali pada masa SMA dan masa kuliah.
Terlalu banyak nama yang harus saya sebutkan satu persatu tetapi sejak SMP saya benar-benar merasakan perkawanan yang berlangsung lebih lama. Bahkan hingga masa sekarang. Sebut saja Adjo, computer/electronic freak. Sekelas saat kelas 1 di SMP. Dengan dialah saya mengenal tetek bengek elekronik pertama kali. Membuat flip-flop, berjalan ke Plaza untuk membeli komponen elektronik. Kemudian masuk jurusan yang sama di kampus, dan sekarang kembali menekuni kecanduannya akan elektronik/computer dengan berprofesi sebagai hardware proyeker. Kelas 1 SMP lah pertama kali saya membaca enny arrow :P dan baru di kelas 2 SMP saya menonton film biru disanggar pramuka. hahaaha sudahlah,itulah sebagian yang membuat saya menjadi orang seperti sekarang ini. Karena sekali lagi, terlalu banyak nama yang harus saya sebutkan satu persatu. Suatu saat saya harus menuliskannya agar saya kembali dingatkan betapa beruntungnya saya memiliki kawan-kawan.
Thursday, March 17, 2005
Kawan-kawan Taman Kanak-kanak
Saya bersekolah di TK Yayasan Beribu, letaknya di jalan jurang. Jalan jurang adalah lanjutan Jalan Sederhanan menuju jalan Cemara, letaknya sejajar dengan Jalan Cipaganti. Seingat saya, ada guru disana. Satu guru sekaligus kepala sekolah, satu guru agak tua dan satu guru yang lebih mudaan. Nama mereka saya sama sekali lupa sekarang. Maaf yan Bu Guru....
Seragam saya saat itu berwarna coklat muda dan coklat tua. Coklat muda untuk kemeja dan coklat tua untuk celana pendek dan dasi kecil yang diikat menggunakan karet ke leher.
Saya masuk jam 8 pagi dan sudah pulang menjelang jam setengah 11 siang, setiap hari dari Senin hingga Sabtu. Pertama kali datang saya akan berbaris 1 baris, disiapkan oleh ketua kelas dan kemudian masuk beriringan seperti kereta api. Saya duduk di bangku berwarna warni. Ada bangku warna merah, biru, kuning juga hijau.
"Berdoa dimulai" begitulah kegiatan selalu diawali setiap hari, kemudian ibu guru akan mulai mengajarkan nyanyian baru pada kami. Setangah jam saja sepertinya, karena sepertinya setiap hari saya selalu bermain ayun-ayunan, serodotan, main pasir, cungkelik cungkedan (nah lo apa ya bahasa indonesianya), atau panjat-panjatan. Sekali-kali tentu saja berlarian kesana kemari,entah bermain kucing-kucingan atau sekedar berlarian gak jelas tujuan.
Masuk kelas kembali, maka kami akan bersiap untuk pulang ke rumah, makan dahulu biasanya. Seingat saya, bukan makan besar, tetapi makanna kecil, penganan pasar, yang dilengkapi dengan teh manis di dalam gelas dan piring plastik. Senangnya bukan main, karena setelah ini saya akan pulang ke rumah dijemput oleh mama atau oleh seorang saudara perempuan mama yang membantu menjaga saya selama mama bekerja.
Saya tak begitu ingat lagi siapa saja kawan saya disana,hanya satu nama yang saya ingat. Nana. Dia tinggal di dekat sekolah TK saya itu dahulu. Dan kemudian masuk ke SD yang sama dengan saya.
Siapa saja kawan SD saya????
Saya bersekolah di TK Yayasan Beribu, letaknya di jalan jurang. Jalan jurang adalah lanjutan Jalan Sederhanan menuju jalan Cemara, letaknya sejajar dengan Jalan Cipaganti. Seingat saya, ada guru disana. Satu guru sekaligus kepala sekolah, satu guru agak tua dan satu guru yang lebih mudaan. Nama mereka saya sama sekali lupa sekarang. Maaf yan Bu Guru....
Seragam saya saat itu berwarna coklat muda dan coklat tua. Coklat muda untuk kemeja dan coklat tua untuk celana pendek dan dasi kecil yang diikat menggunakan karet ke leher.
Saya masuk jam 8 pagi dan sudah pulang menjelang jam setengah 11 siang, setiap hari dari Senin hingga Sabtu. Pertama kali datang saya akan berbaris 1 baris, disiapkan oleh ketua kelas dan kemudian masuk beriringan seperti kereta api. Saya duduk di bangku berwarna warni. Ada bangku warna merah, biru, kuning juga hijau.
"Berdoa dimulai" begitulah kegiatan selalu diawali setiap hari, kemudian ibu guru akan mulai mengajarkan nyanyian baru pada kami. Setangah jam saja sepertinya, karena sepertinya setiap hari saya selalu bermain ayun-ayunan, serodotan, main pasir, cungkelik cungkedan (nah lo apa ya bahasa indonesianya), atau panjat-panjatan. Sekali-kali tentu saja berlarian kesana kemari,entah bermain kucing-kucingan atau sekedar berlarian gak jelas tujuan.
Masuk kelas kembali, maka kami akan bersiap untuk pulang ke rumah, makan dahulu biasanya. Seingat saya, bukan makan besar, tetapi makanna kecil, penganan pasar, yang dilengkapi dengan teh manis di dalam gelas dan piring plastik. Senangnya bukan main, karena setelah ini saya akan pulang ke rumah dijemput oleh mama atau oleh seorang saudara perempuan mama yang membantu menjaga saya selama mama bekerja.
Saya tak begitu ingat lagi siapa saja kawan saya disana,hanya satu nama yang saya ingat. Nana. Dia tinggal di dekat sekolah TK saya itu dahulu. Dan kemudian masuk ke SD yang sama dengan saya.
Siapa saja kawan SD saya????
Tuesday, March 15, 2005
Kawan
Umur saya akan berjumlah sebanyak 29 dalam hitungan tahun satu bulan kedepan. Mungkin bila saya ingat semuanya jumlahnya akan lebih dari seribu orang. Kawan pertama yang saya ingat adalah kawan yang pertama kali menyapa saya saat saya baru beberapa berada di bandung, di rumah kontrakan orang tua saya, Jl Hegar Asih 4/158B RT 02 RW 03 Cipaganti Bandung 40134.
Saat itu bahasa yang saya kenal adalah bahasa padang kampung yang selalu dipergunakan di dalam rumah yang diajarkan oleh orangtua saya. Anak perempuan itu melihat saya dari luar pagar rumah, di lindungan teduh dua pohon cengkeh yang tumbuh di depan rumah kontrakan itu. Saya pun melihat dia dan kemudian mengeluarkan kata-kata dalam bahasa ibu saya yang tidak dia mengerti (karena dia berbahasa ibu bahasa sunda) dan kemudian dia tertawa terkikik yang menyebabkan saya marah karena "kok bisa-bisanya dia tidak mengerti apa yang saya katakan", mungkin seperti itulah pikiran saya saat itu. Lia namanya, dulu anak perempuan yang berumur 2 tahun dibawah saya. Dari lia dan kemudian kakaknya rudi saya mulai mengenal kosakata sunda yang hingga sekarang saya fasih mengucapkannya. Bila tidak ada mereka tentu saya tidak akan bisa berbahasa sunda, tanah yang saya tinggal hampir 25 tahun lamanya.
Kemudian saya mulai berkenalan dengan kawan-kawan lain, ada yadi ada erip ada gandi ada budi ada uus ada adang ada hendri dan ada beberapa orang lagi yang saya lupa namanya. Dimanakah mereka sekarang dan apakah pekerjaan mereka sekarang?
Kawan-kawan mengaji adalah orang-orang yang berbeda, karena sebagian rumah mereka terletak di Rukun Tetangga bahkan Rukun Warga yang berbeda dengan saya. Sekarangpun saya samasekali tidak ingat nama-nama mereka. Saya hanya ingat beberapa nama guru ngaji saya. Sebagian adalah mahasiswa-mahasiswa yang kos di daerah saya, rata-rata mahasiswa ITB. Saya ingat ada Mas Bambang yang orang Jawa, mahasiswa jurusan Matematika. Ada Mas Toni yang berasal dari Maluku, tepatnya di Tual. Terus ada Kak Nanang, penggemar Jazz yang suka merancang baju dan akhir tahun lalu menang dalam perlombaan merancang yang diselenggarakan oleh Mercedez. Ada Kang Gozali yang bapaknya anggota Jamaah Tabligh tapi entah siapa lagi yang lainnya. Saya lupa.
Masuklah saya ke TK. Siapa saja ya kawan saya?????
Umur saya akan berjumlah sebanyak 29 dalam hitungan tahun satu bulan kedepan. Mungkin bila saya ingat semuanya jumlahnya akan lebih dari seribu orang. Kawan pertama yang saya ingat adalah kawan yang pertama kali menyapa saya saat saya baru beberapa berada di bandung, di rumah kontrakan orang tua saya, Jl Hegar Asih 4/158B RT 02 RW 03 Cipaganti Bandung 40134.
Saat itu bahasa yang saya kenal adalah bahasa padang kampung yang selalu dipergunakan di dalam rumah yang diajarkan oleh orangtua saya. Anak perempuan itu melihat saya dari luar pagar rumah, di lindungan teduh dua pohon cengkeh yang tumbuh di depan rumah kontrakan itu. Saya pun melihat dia dan kemudian mengeluarkan kata-kata dalam bahasa ibu saya yang tidak dia mengerti (karena dia berbahasa ibu bahasa sunda) dan kemudian dia tertawa terkikik yang menyebabkan saya marah karena "kok bisa-bisanya dia tidak mengerti apa yang saya katakan", mungkin seperti itulah pikiran saya saat itu. Lia namanya, dulu anak perempuan yang berumur 2 tahun dibawah saya. Dari lia dan kemudian kakaknya rudi saya mulai mengenal kosakata sunda yang hingga sekarang saya fasih mengucapkannya. Bila tidak ada mereka tentu saya tidak akan bisa berbahasa sunda, tanah yang saya tinggal hampir 25 tahun lamanya.
Kemudian saya mulai berkenalan dengan kawan-kawan lain, ada yadi ada erip ada gandi ada budi ada uus ada adang ada hendri dan ada beberapa orang lagi yang saya lupa namanya. Dimanakah mereka sekarang dan apakah pekerjaan mereka sekarang?
Kawan-kawan mengaji adalah orang-orang yang berbeda, karena sebagian rumah mereka terletak di Rukun Tetangga bahkan Rukun Warga yang berbeda dengan saya. Sekarangpun saya samasekali tidak ingat nama-nama mereka. Saya hanya ingat beberapa nama guru ngaji saya. Sebagian adalah mahasiswa-mahasiswa yang kos di daerah saya, rata-rata mahasiswa ITB. Saya ingat ada Mas Bambang yang orang Jawa, mahasiswa jurusan Matematika. Ada Mas Toni yang berasal dari Maluku, tepatnya di Tual. Terus ada Kak Nanang, penggemar Jazz yang suka merancang baju dan akhir tahun lalu menang dalam perlombaan merancang yang diselenggarakan oleh Mercedez. Ada Kang Gozali yang bapaknya anggota Jamaah Tabligh tapi entah siapa lagi yang lainnya. Saya lupa.
Masuklah saya ke TK. Siapa saja ya kawan saya?????
Friday, March 11, 2005
samurai
"Seorang samurai tidak bekerja sekadar untuk mengisi perut. Dia bukan budak makanan. Dia hidup untuk memenuhi panggilannya, untuk kewajiban dan pengabdian. Makanan hanyalah tambahan, sebuah berkah dari surga. Jangan menjadi laki-laki yang, karena terlalu sibuk mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam kebimbangan." -kato danzo, taiko by eiji yoshikawa-
bah!
Saya jadi malu pada diri sendiri saat mata saya mencapai halaman 58 novel terjemahan gramedia berjudul TAIKO karangan EIJI YOSHIKAWA. Sebuah novel epik tentang perang dan kemenangan pada jaman feodal di jepang. Terbit pertama kali di jepang pada tahun 1967 dengan judul sama tetapi dengan nama pengarang berbeda yaitu Fumiko Yoshikawa.
Matahari bersinar keemasan pagi itu, langitpun biru cerah seperti lautan megah. Beranda rumah kontrakanku memantulkan cahayanya dengan sempurna. Bacaanku mencapai halaman 58 itu.
Andai kata samurai diganti jadi kata "jurnalis" ???!!!!
Mungkin tidak cocok karena kalimat yang menerangkan di bawahnya memang khusus untuk kata yang diterangkan. Entahlah.
Tapi kok ya rasanya tetap agak malu ya????
"Seorang samurai tidak bekerja sekadar untuk mengisi perut. Dia bukan budak makanan. Dia hidup untuk memenuhi panggilannya, untuk kewajiban dan pengabdian. Makanan hanyalah tambahan, sebuah berkah dari surga. Jangan menjadi laki-laki yang, karena terlalu sibuk mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam kebimbangan." -kato danzo, taiko by eiji yoshikawa-
bah!
Saya jadi malu pada diri sendiri saat mata saya mencapai halaman 58 novel terjemahan gramedia berjudul TAIKO karangan EIJI YOSHIKAWA. Sebuah novel epik tentang perang dan kemenangan pada jaman feodal di jepang. Terbit pertama kali di jepang pada tahun 1967 dengan judul sama tetapi dengan nama pengarang berbeda yaitu Fumiko Yoshikawa.
Matahari bersinar keemasan pagi itu, langitpun biru cerah seperti lautan megah. Beranda rumah kontrakanku memantulkan cahayanya dengan sempurna. Bacaanku mencapai halaman 58 itu.
Andai kata samurai diganti jadi kata "jurnalis" ???!!!!
Mungkin tidak cocok karena kalimat yang menerangkan di bawahnya memang khusus untuk kata yang diterangkan. Entahlah.
Tapi kok ya rasanya tetap agak malu ya????
Thursday, March 10, 2005
Lari
Rasanya telah lama tidak lagi saya berlari.
Saya sudah lama tidak menikmati minggu pagi hari di lebak siliwangi, berlari bersama ratusan orang lainnya di track sepanjang 400m tanpa alas kaki, memakai celana komprang berkaos oblong putih bolong. Basah karena tipis bahannya. Mungkin karena banyak berlari pikiran saya bisa ikut berlari.
Pikiran saya pun sudah lama tidak berlari. Hanya jalan lamat-lamat, tenang dan tidak bergerusu. Saatnya sekarang saya membebaskan pikiran saya, start kembali untuk berlari dalam berpikir. Berlari dari kenyataan berpikir yang tetap berjalan di tempat seperti sekarang. Biarlah pikiran saya berkeringat kini.
Rasanya telah lama tidak lagi saya berlari.
Saya sudah lama tidak menikmati minggu pagi hari di lebak siliwangi, berlari bersama ratusan orang lainnya di track sepanjang 400m tanpa alas kaki, memakai celana komprang berkaos oblong putih bolong. Basah karena tipis bahannya. Mungkin karena banyak berlari pikiran saya bisa ikut berlari.
Pikiran saya pun sudah lama tidak berlari. Hanya jalan lamat-lamat, tenang dan tidak bergerusu. Saatnya sekarang saya membebaskan pikiran saya, start kembali untuk berlari dalam berpikir. Berlari dari kenyataan berpikir yang tetap berjalan di tempat seperti sekarang. Biarlah pikiran saya berkeringat kini.
Tuesday, March 08, 2005
Renung Diam
Mungkin inilah akibatnya apabila terlalu lama diam melakukan hal yang sebenarnya bukanlah satu kegemaran. Kegemaran saya adalah keluar dari ruangan tertutup tembok dan berkeliling bertemu dengan orang-orang atau memperhatikan keadaan. Sesuatu yang mengalir saja saya nikmati tanpa ada keharusan apalagi kewajiban. Kegemaran saya adalah termasuk sendirian berjalan dan kemudian menemukan hal-hal yang baru selayaknya. Soliter.
Sekarang, "harus" menjadi satu wahyu baru bagi saya. Saya harus dapat mendapatkan sejumlah tertentu pendapatan untuk dapat menutup sejumlah besar pengeluaran yang memang seharusnya saya keluarkan. Sekarang saya harus berada di suatu tempat yang dimana disanalah "harus" saya berada. Mungkin "harus" terdengar tidak bersyukur dengan segala kenikmatan. Mungkin "layaknya" akan jadi lebih be-rasa lebih sesuai.
Layaknya memang saya semestinya seperti sekarang ini. Walau sedikit masygul di hati.
Mungkin, karena saya terlalu lama berada dalam suatu tempat terbatas tembok tanpa melihat dunia luar sana yang berubah secepat jarum panjang weker cap ayam di kamar saya melewati satu garis. Mungkin saya terlalu banyak tenaga tersisa hingga segala kegemaran saya merenung terlalu terpenuhi sehingga bahasa-bahasa dalam buku teori dahulu kembali terngiang di telinga. Mungkin saya harus mulai merubah buku-buku teori yang biasa saya baca menjadi buku-buku sop dan soto ayam penghibur jiwa saja.
Dulu karena terlalu banyak membaca saya bertanya tentang Tuhan pencipta saya. Rasanya dunia berkeliling di sekitaran jiwa dan kepala saya dan saya bisa tetap berdiri dengan hanya bersandar pada imajinasi bayangan saya terhadap teks yang saya percaya dan lekat di jiwa. Dulu saya percaya saya bisa mengatasi semuanya. Saya sendiri bisa mengatasi semuanya bahkan hingga kondisi paling bawah sekalipun.
Sekarang?
Memang saya mulai membaca kembali banyak-banyak buku teori yang dulu sempat saya tinggal untuk menikmati kelucuan dan kesegaran garfield dan beragam film penyejuk jiwa.
Mungkin inilah akibatnya apabila terlalu lama diam melakukan hal yang sebenarnya bukanlah satu kegemaran. Kegemaran saya adalah keluar dari ruangan tertutup tembok dan berkeliling bertemu dengan orang-orang atau memperhatikan keadaan. Sesuatu yang mengalir saja saya nikmati tanpa ada keharusan apalagi kewajiban. Kegemaran saya adalah termasuk sendirian berjalan dan kemudian menemukan hal-hal yang baru selayaknya. Soliter.
Sekarang, "harus" menjadi satu wahyu baru bagi saya. Saya harus dapat mendapatkan sejumlah tertentu pendapatan untuk dapat menutup sejumlah besar pengeluaran yang memang seharusnya saya keluarkan. Sekarang saya harus berada di suatu tempat yang dimana disanalah "harus" saya berada. Mungkin "harus" terdengar tidak bersyukur dengan segala kenikmatan. Mungkin "layaknya" akan jadi lebih be-rasa lebih sesuai.
Layaknya memang saya semestinya seperti sekarang ini. Walau sedikit masygul di hati.
Mungkin, karena saya terlalu lama berada dalam suatu tempat terbatas tembok tanpa melihat dunia luar sana yang berubah secepat jarum panjang weker cap ayam di kamar saya melewati satu garis. Mungkin saya terlalu banyak tenaga tersisa hingga segala kegemaran saya merenung terlalu terpenuhi sehingga bahasa-bahasa dalam buku teori dahulu kembali terngiang di telinga. Mungkin saya harus mulai merubah buku-buku teori yang biasa saya baca menjadi buku-buku sop dan soto ayam penghibur jiwa saja.
Dulu karena terlalu banyak membaca saya bertanya tentang Tuhan pencipta saya. Rasanya dunia berkeliling di sekitaran jiwa dan kepala saya dan saya bisa tetap berdiri dengan hanya bersandar pada imajinasi bayangan saya terhadap teks yang saya percaya dan lekat di jiwa. Dulu saya percaya saya bisa mengatasi semuanya. Saya sendiri bisa mengatasi semuanya bahkan hingga kondisi paling bawah sekalipun.
Sekarang?
Memang saya mulai membaca kembali banyak-banyak buku teori yang dulu sempat saya tinggal untuk menikmati kelucuan dan kesegaran garfield dan beragam film penyejuk jiwa.
Monday, March 07, 2005
pertahankan ambalat!
sejenak melupakan seluruh kekikukan, kegamangan.
Short clip yang ditayangkan METRO TV dashyat sangat menghibur. Gambar tentara menaiki kapal perang, pasukan baret merah berbaris. Seakan kita sedang siap perang. Irama lagu maju tak gentar mengantar semuanya dengan diakhiri text PERTAHANKAN AMBALAT! warna merah darah! mengingatkan kembali pada jenis font film berjudul SANTET yang kami pergunakan untuk menambal gambar saat membuat episode SANTET di KUPAS TUNTAS.
Ya, melupakan sejenak saja seluruh kegamangan dan kerikuhan ini.
Saat BBM yang naik tak saya sesali, karena saya percaya dengan keharusan adanya diversifikasi energi. Orang boleh kata saya drakula karena meluluskan penghisapan darah rakyat karena efek domino yang ditimbulkan. Tapi saya mempunyai hitungan dan keyakinan saya sendiri. Bila setiap orang yang memiliki kendaraan roda empat lebih dari satu dibebani pajak sebesar harga mobilnya, maka dengan tambahan kebijakan menambah angkutan umum layak berstandar seperti busway, mungkin biaya untuk membangun jalan dengan utang dan biaya kemewahan akan jadi sangat mahal. KSaya sepakat dengan alternatif-alternatif pembebanan biaya kemewahan ada orang-orang yang hendak bermewah. Harga kemewahan haruslah sangat mahal.
Ya, ambalat mungkin membuaikan sesaat analisis-analisis ekonomi yang lebih merakyat. Tapi biarlah terbuai sekali, karena buaian membuat kita lelap tertidur apalagi jika saat itu kita lelah.
sejenak melupakan seluruh kekikukan, kegamangan.
Short clip yang ditayangkan METRO TV dashyat sangat menghibur. Gambar tentara menaiki kapal perang, pasukan baret merah berbaris. Seakan kita sedang siap perang. Irama lagu maju tak gentar mengantar semuanya dengan diakhiri text PERTAHANKAN AMBALAT! warna merah darah! mengingatkan kembali pada jenis font film berjudul SANTET yang kami pergunakan untuk menambal gambar saat membuat episode SANTET di KUPAS TUNTAS.
Ya, melupakan sejenak saja seluruh kegamangan dan kerikuhan ini.
Saat BBM yang naik tak saya sesali, karena saya percaya dengan keharusan adanya diversifikasi energi. Orang boleh kata saya drakula karena meluluskan penghisapan darah rakyat karena efek domino yang ditimbulkan. Tapi saya mempunyai hitungan dan keyakinan saya sendiri. Bila setiap orang yang memiliki kendaraan roda empat lebih dari satu dibebani pajak sebesar harga mobilnya, maka dengan tambahan kebijakan menambah angkutan umum layak berstandar seperti busway, mungkin biaya untuk membangun jalan dengan utang dan biaya kemewahan akan jadi sangat mahal. KSaya sepakat dengan alternatif-alternatif pembebanan biaya kemewahan ada orang-orang yang hendak bermewah. Harga kemewahan haruslah sangat mahal.
Ya, ambalat mungkin membuaikan sesaat analisis-analisis ekonomi yang lebih merakyat. Tapi biarlah terbuai sekali, karena buaian membuat kita lelap tertidur apalagi jika saat itu kita lelah.
Wednesday, March 02, 2005
memakilah!!!
Tak ada yang lebih memuaskan daripada mendapatkan kompensasi yang layak daripada semua pekerjaan yang pernah saya lakukan. Tapi sayang, saya belum mendapatkan disini. Tidak disini tampaknya.
"Gua gak hepi,itu kalo lu nanya. Tapi gua tetep pengen bersyukur dengan hasil yang gua dapatkan" kata saya pada seorang kawan yang menanyakan tentang kenaikan gaji yang baru saja saya terima.
Malam ini saya mempunyai alasan kembali untuk memaki,sayang sekali saya tidak merasa layak untuk memuntahkan disini. Hanya satu yang pasti,untuk kawan-kawan yang membaca ini..bekerja di sini tidak menjanjikan gaji layak dan tinggi dan tidak pula kenikmatan kerja di kemudian hari.
Tak ada yang lebih memuaskan daripada mendapatkan kompensasi yang layak daripada semua pekerjaan yang pernah saya lakukan. Tapi sayang, saya belum mendapatkan disini. Tidak disini tampaknya.
"Gua gak hepi,itu kalo lu nanya. Tapi gua tetep pengen bersyukur dengan hasil yang gua dapatkan" kata saya pada seorang kawan yang menanyakan tentang kenaikan gaji yang baru saja saya terima.
Malam ini saya mempunyai alasan kembali untuk memaki,sayang sekali saya tidak merasa layak untuk memuntahkan disini. Hanya satu yang pasti,untuk kawan-kawan yang membaca ini..bekerja di sini tidak menjanjikan gaji layak dan tinggi dan tidak pula kenikmatan kerja di kemudian hari.
Tuesday, March 01, 2005
kenaikan gaji karyawan trans tv
kejutan pertama, tanggal 24 Februari 2005, tempelan kertas A4 bernomor resmi bertandatangan direksi Ishadi SK dan Dudi Hendrakusumah. Isinya menyatakan bahwa bonus untuk karyawan trans tv dengan masa kerja di atas 1 tahun mendapatkan jumlah bonus sebesar 1 kali gaji lama. kekecewaan pertama. "bonus akan diberikan tahun ini, besarnya adalah sebesar 1 kali gaji yang sudah disesuaikan" begitu beberapa petinggi sempat saya dengar bicara.
kejutan kedua, tanggal 25 februari 2005, bersamaan dengan diterimanya bonus yang 1 kali gaji lama, keluar edaran yang ditempel ditandatangani oleh direksi Dudi Hendrakusumah TANPA Ishadi SK bahwa gaji bulan februari (yang sudah disesuaikan) akan keluar pada tanggal 1 maret 2005 bukan tanggal 28 februari seperti biasa. kekecewaan kedua, dengan alasan apa penundaan itu diputuskan dan kenapa hanya oleh Dudi Hendrakusumah yang menandatangani tanpa Ishadi SK.
kejutan ketiga, hari ini tanggal 1 maret 2005, tanggal yang dinanti untuk mengetahui jumlah kenaikan gaji yang kita terima. Ternyata penyesuaian kenaikan gaji dimulai pada bulan Februari dan bukan bulan Januari padahal lumrah nya penyesuaian selalu dilakukan pada tahun awal pembukuan yaitu bulan Januari. Entah apakah pembukuan di TRANS TV dimulai pada bulan Februari. kekecewaan ketiga dalam beberapa hari ini. Kekecewaan karena rasanya semua jerih payah kerja yang rata-rata 16 jam kerja setiap hari tidak terbayar.
"Kita harus memulai hari dengan senyum dan bersyukur karena kita masih bisa ada hari ini yung" begitu kata Ami. Itulah yang sekarang sedang berusaha gua jalani.
kejutan pertama, tanggal 24 Februari 2005, tempelan kertas A4 bernomor resmi bertandatangan direksi Ishadi SK dan Dudi Hendrakusumah. Isinya menyatakan bahwa bonus untuk karyawan trans tv dengan masa kerja di atas 1 tahun mendapatkan jumlah bonus sebesar 1 kali gaji lama. kekecewaan pertama. "bonus akan diberikan tahun ini, besarnya adalah sebesar 1 kali gaji yang sudah disesuaikan" begitu beberapa petinggi sempat saya dengar bicara.
kejutan kedua, tanggal 25 februari 2005, bersamaan dengan diterimanya bonus yang 1 kali gaji lama, keluar edaran yang ditempel ditandatangani oleh direksi Dudi Hendrakusumah TANPA Ishadi SK bahwa gaji bulan februari (yang sudah disesuaikan) akan keluar pada tanggal 1 maret 2005 bukan tanggal 28 februari seperti biasa. kekecewaan kedua, dengan alasan apa penundaan itu diputuskan dan kenapa hanya oleh Dudi Hendrakusumah yang menandatangani tanpa Ishadi SK.
kejutan ketiga, hari ini tanggal 1 maret 2005, tanggal yang dinanti untuk mengetahui jumlah kenaikan gaji yang kita terima. Ternyata penyesuaian kenaikan gaji dimulai pada bulan Februari dan bukan bulan Januari padahal lumrah nya penyesuaian selalu dilakukan pada tahun awal pembukuan yaitu bulan Januari. Entah apakah pembukuan di TRANS TV dimulai pada bulan Februari. kekecewaan ketiga dalam beberapa hari ini. Kekecewaan karena rasanya semua jerih payah kerja yang rata-rata 16 jam kerja setiap hari tidak terbayar.
"Kita harus memulai hari dengan senyum dan bersyukur karena kita masih bisa ada hari ini yung" begitu kata Ami. Itulah yang sekarang sedang berusaha gua jalani.