Single Shot Cinema
"Yung udah dateng" teriakan Mbak Ria ngagetin gua "Nanggung juga ni orang datengnya, walau gak telat tapi kalau telat 10 menit aja gua masih bisa ngecek email baru dari kampus lama tercinta itu kan" begitu pikir saya.
Udah didalem ruangan akuarium sebelah kiri keliatannya. Bule nanggung, karena gak tinggi-tinggi amat. Gak juga pirang atau berhidung lebar, mancung dan panjang. Dia copot topi hitam Sony Pictures nya. Biasa...Kaos warna biru dockers tulisan hammer, hmmmm....bener biasa.
"Hi, buyung" saya mengangsurkan tangan untuk bersalaman dan dijawab "Hallo, Leonard" katanya. Ya, akhirnya bisa bertemu juga dengan orang satu ini. Orang yang dalam setahun ini jadi bahan pembicaraan di berbagai media terutama dunia documenter filmmaker. berbagai penghargaan dari International Documentary Film Festival Amsterdam hingga Sundance Film Festival dia dapatkan.
Dialah Leonard Retel Helmrich, seorang filmmaker yang memperkenalkan satu gaya pengambilan gambar yang dia sebut Single Shot Cinema. Suaut teknik pengambilan gambar yang menyamakan tekniknya dengan teknik pengambilan gambar di bawah air. Suatu teknik pengambilan gambar yang tidak mengenal atas bawah muka belakang, karena si kamera dalam mengambang seperti di bawah air. Karena tekniknya inilah dia memenangkan berbagai penghargaan di atas tetapi dengan tidak melupakan isi cerita.
"Saya tidak mau subyek saya berubah mood-nya gara-gara saya harus merubah letak dan posisi kamera saya atau mengarahkan mata saya ke viewfinder atau LCD" begitu katanya, "lagipula saya tidak mau berada jauh dari subyek saya karena dengan berada dekat maka secara psikologis subyek saya akan merasa dekat juga dengan saya"
Dengan teknik inilah dia bisa menangkap berbagai momen yang sangat jarang bisa didapatkan dalam 2 filmnya yang bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga miskin beragama katolik di tengah suasana politik yang sedang berubah. Dengan teknik inilah dia menghasilkan gambar-gambar yang seperti tidak mungkin bisa didapatkan apabila si kamera dipegang dengan cara dipanggul atau dipegang biasa.
"Kenapa kamera ini harus memanjang ke depan/belakang dan bukannya melebar ke samping seperti kamera foto" protesnya, karena dengan kamera yang melebar ke samping maka teknik dia mengambil gambar akan menjadi lebih sempurna.
"Yung udah dateng" teriakan Mbak Ria ngagetin gua "Nanggung juga ni orang datengnya, walau gak telat tapi kalau telat 10 menit aja gua masih bisa ngecek email baru dari kampus lama tercinta itu kan" begitu pikir saya.
Udah didalem ruangan akuarium sebelah kiri keliatannya. Bule nanggung, karena gak tinggi-tinggi amat. Gak juga pirang atau berhidung lebar, mancung dan panjang. Dia copot topi hitam Sony Pictures nya. Biasa...Kaos warna biru dockers tulisan hammer, hmmmm....bener biasa.
"Hi, buyung" saya mengangsurkan tangan untuk bersalaman dan dijawab "Hallo, Leonard" katanya. Ya, akhirnya bisa bertemu juga dengan orang satu ini. Orang yang dalam setahun ini jadi bahan pembicaraan di berbagai media terutama dunia documenter filmmaker. berbagai penghargaan dari International Documentary Film Festival Amsterdam hingga Sundance Film Festival dia dapatkan.
Dialah Leonard Retel Helmrich, seorang filmmaker yang memperkenalkan satu gaya pengambilan gambar yang dia sebut Single Shot Cinema. Suaut teknik pengambilan gambar yang menyamakan tekniknya dengan teknik pengambilan gambar di bawah air. Suatu teknik pengambilan gambar yang tidak mengenal atas bawah muka belakang, karena si kamera dalam mengambang seperti di bawah air. Karena tekniknya inilah dia memenangkan berbagai penghargaan di atas tetapi dengan tidak melupakan isi cerita.
"Saya tidak mau subyek saya berubah mood-nya gara-gara saya harus merubah letak dan posisi kamera saya atau mengarahkan mata saya ke viewfinder atau LCD" begitu katanya, "lagipula saya tidak mau berada jauh dari subyek saya karena dengan berada dekat maka secara psikologis subyek saya akan merasa dekat juga dengan saya"
Dengan teknik inilah dia bisa menangkap berbagai momen yang sangat jarang bisa didapatkan dalam 2 filmnya yang bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga miskin beragama katolik di tengah suasana politik yang sedang berubah. Dengan teknik inilah dia menghasilkan gambar-gambar yang seperti tidak mungkin bisa didapatkan apabila si kamera dipegang dengan cara dipanggul atau dipegang biasa.
"Kenapa kamera ini harus memanjang ke depan/belakang dan bukannya melebar ke samping seperti kamera foto" protesnya, karena dengan kamera yang melebar ke samping maka teknik dia mengambil gambar akan menjadi lebih sempurna.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home